Wednesday, November 14, 2007

JILBAB DALAM SOROTAN

Persoalan jilbab sampai sekarang masih diperdebatkan. Berbagai macam argumen dikeluarkan untuk mendukung berbagai kontroversi pandangan tentang jilbab. Ada yang berpendapat bahwa jilbab itu wajib bagi kaum muslimat yang sudah baligh,apabila tidak, dia telah melanggar hukum Allah. Ada pula yang berpendapat bahwa jilbab hanya produk dari budaya bangsa Arab sedangkan bangsa lain bukan budayanya, seperti di Indonesia. Pertanyaannya kenapa kepala, rambut, seorang perempuan aurat sehingga harus ditutupi sedangkan laki-laki tidak. Kenapa perempuan itu serba aurat? Kalau pertanyan ini ada kitannya dengan seksualitas perempuan, bahwa perempuan yang tidak berjilbab itu mengundang syahwat laki-laki, sehingga harus ditutup, kenapa pula perempuannya yang harus ditutup, kenapa bukan mata laki-lakinya yang harus ditutup? Dari argumen pendek ini saja telah memperlihatkan, betapa jilbab adalah masalah yang memiliki berbagai kontroversi dan mengundang hasrat penyeleseiannya secara jernih. Penulis akan menampilkan argumentasi baik pandangan ulama terdahulu yang terkesan ketat, maupun cendekiawan kontemporer yang terkesan longgar dalam menafsirkan ayat-ayat jilbab..

Listing Masalah

Lalu kenapa persoalan jilbab begitu menarik perhatian untuk diperdebatkan? Ada beberapa alasan kenapa perdebatan ini menarik: pertama, jilbab hanya dijadikan simbol atau instrumen politik sesaat para pengejar kekusaan. Pada banyak wilayah yang menerapkan syariat Islam, jilbab adalah simbol utama dari penerapan syariat Islam. Padahal sebetulnya jilbab hanya satu bagian kecil, kontroversial pula, dari keseluruhn konsep ajaran Islam yang demikian luas.
Kedua, dalam sejarahnya, jilbab adalah bentuk pengekakangan terhadap perempuan. Dalam literatur Yahudi, ditemukan bahawa penggunaan jilbab berawal dari peristiwa dosa asal (original sin), yaitu Hawa, isteri Adam, telah berdosa menggoda suminya memakan buah terlarang. Akibatnya, Hawa bersama seluruh kaumnya mendapat kutukan lebih berat. Dalam kitab Talmud, dijelaskan 10 jenis penderitaan yang harus dialami Hawa dan kaumnya, salah satu diantaranya yaitu Hawa harus menjalani siklus menstruasi yang tidqak pernah dialami sebelumnya. Menstruasi mempunyai hubungan erat dengan penggunaan jilbab.
Kalangan ahli antropologi berpendapat, bahwa jilbab dan semacamnya bersumber dari ketabuan menstruasi (menstruasi taboo). Perempuan yang menstruasi diyakini berada dalam suasana tabu. Menurut beberapa kepercayaan, seperti dalam kepercayaan agama Yahudi, perempuan menstruasi harus hidup dlam sebuah gubuk khusus, ada juga di gowa-gowa, seperti di semenanjung Kaukasus. Perempuan haid harus betul-betul diwaspadai. Mereka tidak boleh membaur dengan masyarakat, termasuk keluarga dekat sendiri, pemali melakukan hubungan seks, dan tatapan mata mereka tidak boleh berkeliaran karena akan mengundng mala petaka.
Kemudian penggantian gubuk haid menjadi kerudung merupakan hasil perjuangan perempuan bangsawan. Bagi mereka, perempuan bangsawan tersebut, yang esensi bukanlah sembunyi di balik gubuk haid atau di goa-goa, tapi bagaiamana mengamankan dan menjinakkan tatapan mata. Perempuan bangsawan kemudian mengenakan jilbab sebgai pengganti gubuk haid. Belakangan, perempuan non bngsawan pun melakukn hal yang sama seperti perempuan bangsawan, sehingga gubuk haid berangsur-angsur hilang, jilbab dan kosmetik jadi populer.
Menurut Navabakhsh, jilbab (cadar) adalah bagian tradisi pra-Islam yang ditemukan di lingkungan perempuan bangsawan kelas menangah atas di Syiria dan di kalangn orang-orang Yahudi dan Kristen serta orang-orang Sassanid.[i]
Ketentuan penggunaan jilbab sudh dikenal di beberapa kota tua seperti Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria. Kalau yang dimaksud jilbab adalah penutup kepala (veil) perempuan, maka jilbab sudh menjadi wacana dalam Code Bilalama (3000 sM.), kemudian dalam Code Hammurab (2000 sM.), dan Code Asyiria (1500 sM.).[ii]
Ketiga, dalam prakteknya, para pendukung syariat Islam seringkali hanya menekankn jilbab, dan mengbaikan persoalan yang lebih substantif, misalnya tentang kesederhanaan. Kewajiban jilbab tidak disertai dengan larangan memakai make up, berdandan, dan memakai perhiasan, yang memungkinkan jilbab dengan berbagai perhiasannya itu lebih menunjukkan praktek hidup mewah. Pdahal inti jilbab tergambr dalam kehidupn kesederhaan dn kerendahan hati.[iii] Pada titik ini, terlihat jelas betapa jilbab hanya menjadi simbol dan mengabaikan semangat yng dikandungnya.

Perdebatan Teologis
Jilbab menjadi demikian hangat dibicarakan, karena memang masing-masing pihak mendapat dukungan teks-teks suci.
Pertama penulis akan sedikit memaparkan pendapat ulama masa lalu yang sampai sekarang masih menjadi rujukan mayoritas ulama. Yang kemudian akan dilanjutkan dengan pendapat-pendapat para pemikir kontemporer.
Ayat Pertama, yang menjadi bahan diskusi atau dasar dalam penetapan batasan aurat perempuan yaitu surat al-Ahzab ayat 33. Yang artinya:
“wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi, kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang, maka masuklah. Dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa memperpanjang perckapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi, lalu Nabi malu kepadamu untuk menyuruh kamu keluar. Dan Allah tidk malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti hati rasulullah. Dan tidak pula mengawini isteri-isterinya selama-lamanya. Sesungguhnya perbuatan itu amat besar dosanya di sisi Allah.”
Dalam hal ini ada dua pokok masalah yang menjadi bahan diskusi para ulama. Pertama, apa yang dimaksud dengan hijab? Kedua, apakah ayat yang memerintahkan hijab itu merupakan ketentuan khusus bagi isteri-isteri Nabi Saw atau mencakup bagi semua perempuan Islam?
Argumentasi masing-masing kelompok ulama yakni yang mengatakan bahwa seluruh badan perempuan adalah aurat tanpa kecuali, begitu juga yang menyatakan kecuali telapak tangan dan wajah tidak cukup kuat untuk membatalkan pandangan lawannya.
Ayat-ayat dan hadits di bawah ini merupakan landasan yang paling lazim ditemui dalam setiap perdebatan tersebut: (1), QS. Al-Ahzab ayat 53:

Menurut Said al-Asymawi, setidaknya ada tiga produk hukum yang ditimbulkan ayat tersebut di atas: pertama, tentang etika kaum mukmin ketika menghadiri represi pernikahan atau perjamuan lainnya; kedua, anjuran meletakkan hijab atau tirai antara istri-istri Nabi dengan kaum mukmin lainnya; ketiga, larangan mengawini istri-istri Nabi setelah beliau wafat.[iv]
Dalam kontek perdebatan jilbab, kata-kata hijab menjadi sangat penting artinya. Menurut Fatima Mernisi, hijab, secara harfiah, berarti tirai, diturunkan bukan untuk meletakan suatu pembatas antara seseorang laki-laki dan perempuan, namun justru antara dua laki-laki.[v] Turunnya perintah hijab bertepatan dengan suatu kejadian yang melatarbelakangi pewahyuan ayat tersebut, pada tahun 5 Hijrah (627 M).
Dalam hal ini, pengambilan hukum tidak pernah bisa dilepaskan dari konteks historis bagaimana ayat itu turun, sebab ini nanti akan berkaitan dengan sasaran dan objek hukum ayat tersebut. Pada ayat tentang khimar, misalnya, dikatakan:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangan, dan menjaga kemaluannya, dan janganlah menampakan perhiasannya, kecuali yang bisa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya…”. (QS., an-Nur ayat 31).
Perintah menutupkan kerudung ke bagian dada lebih sebagai identifikasi diri kaum muslimat yang dibedakan dari kebiasaan non muslimat yang biasa menjumbaikan kerudung ke belakang, sehingga leher dan bagian atas dadanya terbuka. Ayat ini mirip dengan hadis Nabi yang memerintahkan mencukur kumis dan memanjangkan jenggot, hanya untuk membedakan kaum muslim dengan non muslim, yang notabene memiliki kebiasaan sebaliknya, mencukur jenggot dan memanjangkan kumis.6
Lebih jelas lagi pada ayat jalabib berikut ini:
“Wahai Nabi, sampaikanlah kepada istri-istrimu, putri-putrimu, dan perempuan mukminat, agar merendahkan jalabib (mantel) mereka. Yang demikian itu lebih memudahkan mereka untuk dikenal, sehingga mereka terhindar dari perlakuan buruk. Dan Allah sungguh Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang.” (QS., al-Ahzab ayat 59).
Konteks sejarah turunnya ayat ini berkenaan dengan tradisi perempuan Arab ketika itu yang terbiasa melakukan tabazzul, bersenang-senang. Mereka membiarkan muka mereka terbuka sebagaimana hamba sahaya perempuan, dan oleh kondisi tertentu, mereka terpaksa membuang hajat di padang pasir—sebelum adanya toilet di perumahan. Beberapa laki-laki yang nakal sering berprilaku buruk terhadap mereka dengan anggapan mereka adalah hamba sahaya atau golongan yang kurang terhormat. Lantaran mereka merasa diganggu maka mereka melaporkan hal tersebut ke Nabi. Lalu turunlah ayat tersebut untuk membedakan antara wanita mukminat merdeka dan hamb sahaya. Tanda pembedaan itu dilakukan dengan cara memanjangkan pakaian, sehingga mereka relatif mudah dikenal dan tidak mendapat perlakuan buruk dari laki-laki. Argumen hukum ayat ini atau maksud ayat ini memanjangkan pakaian itu adalah, untuk membedakan antara perempuan yang merdeka dengan hamba sahaya.7



[i] Nasaruddin Umar, Antropologi Jilbab, Ulumul Qur’an No. 5, Vol. VI, Jakarta: 1996, hlm 38.
[ii] Nasaruddin Umar, Fenomenologi Jilbab, Kompas, 25 November 2002.
[iii] Muhammad Said al-Asymawi, Haqiiqtul Hijaab wa Hujjiyat al-Hadits (Kritik atas Jilbab), terj. Novriantoni Kahar dan Oppie Tj., JIL & TAF, Jakarta 2003, hlm. 88.
[iv] Ibid, hlm. 7.
[v] Fatima Mernisi, Women and Islam: A Historical and Theological Enquiri, terj. Yzian Radianti, Wanita dalam Islam, Cet. I, Pustaka, Bandung: 1994, hal
6 Muhammad Said al-Asymawi, Op. Cit., hlm. 11.
7 Ibid, hlm. 13.

Diskursus tentang Pernikahan Beda Agama

Perdebatan mengenai pernikahan beda agama akhir-akhir ini muncul kembali, walaupun sesungguhnya bukan hal baru. Tetapi sangat menarik untuk diperbincangkan sehubungan dengan timbulnya kasus-kasus orang tertentu. Pernikahan merupakan salah satu keutamaan manusia dibanding dengan makhluk lainnya di bumi ini, karena manusia adalah khalifah fi al-ardh, yang diserahi tugas untuk mengelola kehidupan di muka bumi ini. Oleh karena itu manusia dianjurkan untuk menikah, antara lain agar supaya terjadi adanya generasi yang terus berlanjut sampai akhir zaman.
Adapun yang jadi permasalahanya ketika seseorang memiliki pasangan beda agama dan keyakinan adalah pandangan masyarakat yang kerapkali negatif, mereka tidak melihat dari sisi perasaan yang sudah dibangun oleh kedua pasangan tersebut. Karena asumsi yang telah terbangun di masyarakat adalah bahwa pasangan yang menikah beda agama itu telah melakukan perzinahan, menyalahi agama, dan lain-lain.
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, kemudian disampaikan dan dijelaskan kepada umatnya. Karena itu, agama yang benar adalah yang selamanya merupakan ciptaan dan berasal dari Allah, tidak dari yang lain-Nya, sebagaimana dalam surat Ali Imran ayat 19, yang artinya: “sesungguhnya agama Islam berasal dari Allah SWT”. Di dalam al-Qur’an sendiri ditegaskan bahwa tidak ada satu kaum pun yang tidak didatangi oleh utusan Tuhan dan begitu juga tidak ada satu masa yang tidak memiliki kitab suci. Para nabi dan rasul Allah diutus kepada umat yang berbeda dan masa yang berbeda pula. Namun demikian, mereka membawa pesan yang identik dan universal, yaitu agar umat manusia tetap menyembah Allah Yang Maha Esa dan selalu melakukan perbuatan yang bermoral. Di dalam al-Qur’an terkandung nilai-nilai dasar yang kemudian dijadikan pedoman oleh umat Islam. Nilai-nilai dasar tersebut akan sangat bervariasi ketika diterjemahkan, ditafsirkan, dan diaktualisasikan ke dalam realitas.
Oleh karen itu, persoalan pernikahan beda agama itu sangat erat dengan penafsiran dan pada akhirnya menentukan hukum halal atau haram. Sebaiknya kita kembalikan kepada Kalam Ilahi yang satu-satunya rujukan bagi penentuan hukum.
Senantiasa ada dua dimensi di situ, meminjam istilah das sein dan das solen yang masing-masing merujuk pada dimensi historisitas dan dimensi normativitas, maka kedua dimensi tersebut bagi umat Islam bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Wilayah das solen ajaran agama Islam menyatu dengan praktek keseharian wilayah das sein sejarah kemanusiaan. Pergulatan antara das sein dan das solen sebetulnya dimulai sejak awal kemanusiaan itu lahir, maka adalah sangat naif kiranya jika hanya memfokuskan diri pada wilayah das solen (normatifitas) dengan mengabaikan historisitas kemanusiaannya, karena teks-teks al-Quran itu sendiri sebagai wahyu Allah, tidak berbicara pada ruang hampa ketika ia menyapa manusia, melainkan senantiasa merupakan respon terhadap realitas sosial yang ada saat itu. Maka dengan demikian, al-Quran akan kehilangan maknanya ketika ia ditanggalkan dari konteksnya. Penafsiran yang dilakukan secara atomistis dan terpilah-pilah hanya akan menghilangkan keutuhan makna al-Quran serta terjebak pada simbol yang pada akhirnya tidak akan mampu menangkap makna al-Quran yang sesungguhnya. Disamping itu, produk penafsiran yang mengabaikan setting turunnya ayat-ayat al-Qur’an, juga seringkali mereduksi universalitas ajaran al-Qur’an itu sendiri.

Listing Masalah
Isu pernikahan beda agama menjadi isu kontroversi dalam sejarah Islam. ada beberapa alasan kenapa hal ini menarik jadi bahan perdebatan: pertama, sudah jelaskah konsep musyrik dan ahl-kitab? Apakah penganut agama yang sekarang seperti Kristen dan Yahudi termasuk dalam kategori musyrik? Karena sebagian masyarakat muslim beranggapan bahwa yang termasuk dalam kategori musyrik adalah non-muslim, termasuk diantaranya yaitu Yahudi dan Kristen. Kedua, kenapa pernikahan seorang perempuan muslim dengan laki-laki non-muslim dilarang? Pelarangan ini semata-mata hanya didasarkan kepada ijtihad bahwa seorang perempuan muslim yang menikah dengan laki-laki non-muslim akan merasa kehilangan haknya ketika berada di lingkungan keluarga yang non-muslim, yang seharusnya mereka nikmati jika berada dalam lingkungan muslim. Seorang istri akan mengikuti tradisi suaminya dan suami akan mempengaruhi statusnya sebagai perempuan muslim. Ketiga, pasangan muslim dan non-muslim, perkawinan mereka disamakan dengan orang yang berbuat zina, orang yang menyalahi aturan agama.

Pernikahan antar Agama
Berkaitan dengan masalah pernikahan beda agama, pada umumnya ayat-ayat al-Quran yang dipegang oleh para ulama adalah surah al-Baqarah ayat 221 :

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ .

Artinya: “dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (al-Baqarah/2:221)
Ayat ini menunjukkan pelarangan bagi umat Islam untuk menikah dengan orang-orang musyrik. Sebab, para nabi diutus untuk menghapuskan kemusyrikan di muka bumi ini. Karena mustahil orang-orang yang musyrik itu melahirkan sesuatu yang bermoral. Oleh karena itu, kalimat terakhir dalam ayat ini menegaskan sebab pelarangan bagi ummat muslim untuk menikahi kaum musrikin: “…karena mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak kesurga…”.
Pada ayat yang lain, 215-242 surat al-Baqarah, terdapat pembicaraan tentang penetapan hukum di bidang zakat, perang di bulan haram, khamar dan judi, anak yatim dan aturan-aturan kekeluargaan. Di dalam konteks yang terakhir ini dikemukakan larangan untuk menikahi orang musyrik. Istilah musyrik dalam ayat ini merujuk kepada masyarakat politeis, penyembah berhala, yang didalam al-Qur’an merupakan masyarakat sendiri yang tentunya dibedakan dengan masyarakat keagamaan yang lain.1
Di sisi lain, surat al-Baqarah ayat 221 di atas turun dalam konteks masyarakat Madinah yang cukup homogen dimana umat Islam saat itu masih sangat sedikit, ditambah lagi situasi dan kondisi kebencian dan peperangan antara kaum musyrik dengan umat Islam terus berlangsung, sehingga Nabi Muhammad dan kaum Muslimin diusir dari kampung halamannya. Ayat sebelumnya (al-Baqarah/ 2:220) memaparkan tentang persoalan anak yatim yang jumlahnya semakin bertambah banyak disebabkan oleh peperangan, sedangkan di ayat 221 dibahas mengenai larangan pernikahan dengan kaum musyrik karena bertentangan dengan tujuan kedatangan Islam itu sendiri, yakni untuk membasmi kemusyrikan. Oleh karena itu, melakukan pernikahan dengan kaum Musyrik yang senantiasa memusuhi dan memerangi Islam, selain dianggap bertentangan dengan tujuan Islam, juga akan menimbulkan banyak permasalahan dan kesulitan yang sangat besar, terutama dalam kondisi peperangan yang tengah berlangsung saat itu.
Ayat ini hanya melarang perkawinan seorang muslim dengan musyrik. Muhammad Abduh dan Rasyid Rida menjelaskan bahwa yang dikehendaki dengan perempuan-perempuan musyrik dalam ayat ini terbatas pada perempuan musyrik Arab di masa Nabi. 2 Alasan lain bahwa dalam teks ayat itu di samping disebutkan larangan menikah dengan orang musyrik juga diikuti anjuran menikah dengan budak. Jelas, konteksnya yaitu orang musyrik di masa nabi dan sekarang tidak ada lagi.
Dalam hal ini, sebagian ulama berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara musyrik dan ahlul kitab, karena kedua kelompok tersebut dalam realitasnya sama saja, seperti yang dikatakan oleh sahabat Nabi SAW, dari Abdullah ibn Umar yang mengatakan bahwa: “saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari kemusyrikan seseorang yang mengatakan bahwa Tuhannya adalah Isa atau salah satu dari hamba Tuhan”. yang dimaksud dengan “seseorang yang mengaku Tuhannya adalah Isa atau salah satu hamba Tuhan” adalah orang Kristen dan Yahudi.3
Karena itu, perlu diidentifikasi mengenai siapa sebenarnya yang dikategorikan oleh al-Qur’an sebagai orang musyrik, yang kemudian haram dinikahi oleh orang-orang Islam. Dikatakan musyrik bukan hanya mempersekutukan Allah, tapi juga tidak mempercayai salah satu dari kitab-kitab samawi baik yang telah terdapat penyimpangan ataupun yang masih asli, dan tidak seorang pun nabi yang mereka percayai. Adapun ahlul kitab adalah orang yang mempercayai salah seorang nabi dari nabi-nabi dan salah satu kitab dari kitab-kitab samawi, baik sudah terjadi penyimpangan pada mereka dalam bidang akidah dan amalan. Sedangkan yang disebut orang-orang mukmin adalah orang-orang yang percaya dengan risalah Nabi Muhammad baik mereka lahir dalam Islam ataupun kemudian memeluk Islam, yang berasal dari ahli kitab atau kaum musyrik, ataupun dari agama mana saja.4
Jelaslah perbedaan antara kaum musyrik dan ahli kitab, oleh karena itu tidak lah benar jika mencampuradukan antara keduanya; dimana musyrik diartikan ahli kitab dan ahli kitab diartikan musyrik.
Ayat berikutnya adalah:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَءَاتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (al-Mumtahanah/60:10)
Ayat lain yang seringkali dijadikan dasar pelarangan nikah beda agama adalah surat al-Mumtahanah, 60:10. Surat al-Mumtahanah turun beriringan dengan peristiwa perjanjian Hudaibiyah yang terjadi antara Nabi Muhammad dengan kaum musyrik Quraisy (628 M). Ada baiknya jika sekilas kembali menengok ke belakang, peristiwa sejarah yang terjadi di balik turunnya ayat ini.
Perjanjian ini lahir ketika Nabi beserta 1.400 orang pengikutnya berniat mengadakan ziarah ke Mekkah dan ternyata setelah sampai disana, Nabi beserta kaum Muslimin tidak diperbolehkan memasuki kota tersebut oleh kaum musyrik Mekkah. Maka akhirnya diadakanlah perjanjian antara kedua belah pihak, yang menghasilkan beberapa kesepakatan, diantaranya: apabila ada orang dari pihak Quraisy datang kepada Muhammad atau melarikan diri dari mereka tanpa izin walinya, maka ia harus dikembalikan kepada pihak Quraisy. Sebaliknya, jika ada pengikut Muhammad yang datang kepada pihak Quraisy yakni melarikan diri dari dia, maka tidak akan dikembalikan pada Muhammad. Point dari perjanjian inilah yang sangat penting di sini, karena setelah perjanjian ini ditanda-tangani, Abu Jandal, anaknya Suhail bin Amr, datang kepada Nabi dan mengutarakan keinginannya untuk bergabung dengan kaum Muslimin. Suhail ternyata mengetahui hal ini, dia marah besar, kemudian anaknya dipukul, direnggut kerah bajunya untuk kemudian dikembalikan kepada kaum Musyrik Quraisy. Saat itu, Abu Jandal berteriak dengan keras, “wahai kaum Muslimin, apakah aku dikembalikan kepada orang-orang Musyrik yang akan menyiksaku karena agamaku?” kemudian Rasulullah berkata: “wahai Abu Jandal, bersabarlah, sesungguhnya Allah akan memberikan jalan keluar kepadamu dan kepada orang-orang yang lemah yang bersamaan. Kami telah mengikat perjanjian dengan kaum Musyrik Quraisy, dan kita tidak boleh menghianati mereka.” Setelah peristiwa itu ada beberapa orang perempuan Mukminin datang berhijrah ke Madinah, Ummu Khultum binti ‘Uqba bin Mu’ait keluar dari Mekkah. Kemudian saudaranya, Umara bin Walid menyusulnya dan menuntut kepada Nabi supaya wanita itu dikembalikan kepada mereka sesuai dengan isi perjanjian. Tetapi Nabi menolak permintaannya, karena isi yang termaktub dalam perjanjian tidak mencakup kaum perempuan. Disamping itu, perempuan yang sudah masuk Islam tidak sah lagi bagi suaminya yang masih kafir Musyrik, oleh karena itu mereka harus berpisah. Maka dalam hal inilah firman Allah surat al-Mumtahanah turun5.
Berangkat dari argumentasi yang terbangun dalam ayat di atas, para ulama sepakat untuk melarang pernikahan beda agama, yang kemudian pelarangan itu dianggap sebagai ijma. Sementara ijma dalam pendangan mereka adalah salah satu sumber hukum Islam. Dan Indonesia menjadi salah wahana yang sangat subur bagi pemutlakan pandangan para ulama tersebut. Diketahui bahwa mayoritas muslim Indonesia bermazhab Syafi’i. Sehingga tak heran UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 bisa disahkan dengan mudah. Negara sama sekali tidak memberikan ruang bagi praktik pernikahan beda agama. Dan hal ini lebih diperparah oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 1 Juni 1980 yang juga mengharamkan perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan non muslim, dan sebaliknya. Alasan mereka sederhana, kerusakan yang ditimbulkan dari perkawinan beda agama lebih besar ketimbang kebaikan yang didatangkannya, yang terutama kerusakan itu lebih banyak dialami kaum muslimin.
Ada baiknya kita menengok Undang-undang yang tidak toleran tersebut, UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan beda agama.

Pernikahan Beda Agama Menurut UU Perkawinan No. I Tahun 1974
Undang-undang Perkawinan No. I tahun 1974 yang mulai berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 terdiri atas 14 bab dan 67 pasal. Undang-undang tersebut merupakan upaya masyarakat Indonesia untuk menciptakan hukum perkawinan yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam butir 3 penjelasan umum Undang-undang tersebut. Dengan berlakunya Undang-undang tersebut maka semua perundang-undangan yang ada sebelumnya dinyatakan tidak berlaku sejauh materinya sudah diatur dalam Undang-Undang No I Tahun 1974. Seperti yang telah ditegaskan dalam pasal 66 yang berbunyi:

“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonantie Cristen Indonesier S. 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur oleh Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku,”

Dengan dihapusnya ketentuan-ketentuan perkawinan yang terdapat dalam Undang-Undang sebelumnya, maka yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana posisi pernikahan beda agama di Indonesia, karena perkawinan campuran yang dimaksud dalam Undang-Undang No.I Tahun 1974 adalah perkawinan antara dua yang berbeda warga negara, bukan perkawinan antarumat yang berbeda agama. Para ahi hukum berbeda pendapat dalam hal ini dan perbedaan tersebut terpola pada tiga pendapat. Pertama: pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antara orang yang berbeda agama adalah sah adanya dan dapat dilangsungkan sebagai manifestasi dari hak asasi manusia dan kebebasan seseorang untuk menentukan pasangannya. Kelompok ini menyandarkan argumennya pada pasal 16 ayat (1) Dekalarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB yang berbunyi:

“Pria dan wanita dewasa tanpa dibatasi ras, kebangsaan atau agama memilki hak untuk kawin dan membangun suatu keluarga. Mereka memiliki hak-hak sama perihal perkawinan, selama dalam perkawinan dan sesudah dibatalkannya perkawinan.”

Disamping itu, kelompok ini juga berpegang pada pasal 7 ayat 2 GHR S. 1898 No. 158, yang berbunyi:

“Perbedaan agama, bangsa, atau asal itu sama sekali bukanlah penghalang untuk perkawinan.” 6

Pendapat inilah yang terumus dalam pasal 11 ayat (2) Rancangan Undang-undang Perkawinan dahulu dan kemudian ditolak oleh DPR serta dikeluarkan dari Undang-undang Perkawinan, karena dianggap tidak sesuai dengan landasan falsafah pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Kedua: pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan campuran antara orang yang berbeda agama tidak diatur dalam Undang-Undang No. I Tahun 1974, oleh karena itu, perkawinan semacam ini dimungkinkan untuk dilaksanakan apalagi jika melihat realitas yang ada di masyarakat bahwa perkawinan campur beda agama sangat sulit untuk dihindari. Kelompok ini berpegang pada Surat Ketua Mahkamah Agung No. KMA/72/IV/1981 tanggal 20 April 1981 perihal Pelaksanaan Perkawinan Campuran, yang ditujukan kepada Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri yang menyatakan bahwa karena UU No. I Tahun 1974 tidak mengatur perkawinan beda agama, maka menurut pasal 66 UU tersebut masih dimungkinkan bagi mereka yang ingin melaksanakan perkawinan beda agama dengan menggunakan GHR S. 1989 No. 158 sebagai dasarnya, dan agar mendapatkan jaminan kepastian hukum, Mahkamah Agung mengharapkan adanya petunjuk pelaksanaan dari dua departemen di atas tentang pelaksanaan perkawinan beda agama.
Ketiga: pendapat bahwa perkawinan campuran antara orang-orang yang berbeda agama tidaklah sah karena tidak dikehendaki oleh Undang-undang. Hal ini dengan tegas dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1) mengenai sahnya perkawinan, yang berbunyi: “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Selain itu, kelompok ini juga mendasarkan argumennya pada pasal 8 huruf (f) mengenai larangan perkawinan dan pasal 57 mengenai perkawinan campuran. Dalam pasal 8 huruf (f) Undang-Undang Perkawinan dirumuskan bahwa:

“Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan yang berlaku dilarang kawin.”

Artinya, bentuk perkawinan yang dilarang baik oleh agama maupun peraturan lain yang berlaku di Indonesia tidak bisa dilangsungkan atau disahkan. Oleh karena itu, menurut kelompok ini pembenaran atau pengesahan perkawinan campuran beda agama selain bertentangan dengan hukum agama, juga bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan yang berlaku bagi setiap warga negara Indonesia.
Dari paparan di atas maka bisa diartikan bahwa sebetulnya Undang-Undang Perkawinan, terutama yang berkaitan dengan perkawinan campuran, telah menimbulkan interpretasi yang beragam di kalangan ahli hukum. Namun meskipun demikian, pendapat yang sampai saat ini berlaku dan dijadikan dasar dalam menangani masalah perkawinan campuran adalah pendapat terakhir yang melarang disahkannya perkawinan semacam ini.

Usulan
Kendatipun tidak diakomodasi oleh negara, realitas menunjukkan, betapa banyak warga Indonesia yang beda agama masih saja melakukan praktik terlarang tersebut. Barangkali memang benar, bahwa melarang sesuatu yang menjadi hak warga negara adalah perbuatan sia-sia, sebab selalu ada jalan untuk meraih hak tersebut. Banyak cara yang ditempuh oleh para pengantin beda agama tersebut. Ada berangkat ke luar negeri lalu melangsungkan pernikahan di sana, kemudian kembali ke Indonesia untuk mencatatkan perkawinan mereka. Ada yang pura-pura konversi agama agar terlihat perkawinan itu dilakukan secara sah menurut hukum, sehingga mereka bisa dicatatkan pada institusi berwenang, KUA atau KCS, setelah itu mereka kembali ke agama mereka masing-masing. Konversi agama dilakukan hanya untuk memenuhi persyaratan administratif belaka. Ada juga yang menikah sesuai dengan ajaran agama masing-masing tanpa perlu mencatatkan pernikahan mereka. Jelasnya, pernikahan beda agama, meskipun dilarang, betul-betul ada dalam realitas kehidupan sosiologis kita.
Untuk itu, ada baiknya memang peraturan tentang pelarangan beda agama itu dicabut. Disamping pelarangan nikah beda agama itu lemah secara argumentatif, pelarangan tersebut juga secara langsung melakukan tindak diskriminatif dan penindasan kebebasan warga negara untuk mengekspresikan hak-hak individual mereka. Lebih lanjut, masalah pernikahan beda agama masih menjadi perdebatan di kalangan ahli hukum agama, tidak selayaknya negara turut campur dalam perdebatan itu dan memihak salah satu kelompok, dengan membuat peraturan perundang-undangan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu. Masalah agama dan pernikahan adalah masalah yang sangat sakral. Wilayah ini jangan dikotori oleh lumuran lumpur duniawi politik negara. Pernikahan antar agama jika dipercaya mampu membawa manusia kepada kebahagiaan, keharmonisan hidup, penuh diliputi mawaddah wa rahmah, serta jauh dari bentuk diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan, kenapa harus dilarang?
Walalhu a’lam bishshawwab.
1 Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Pangabean, Tafsir Kontekstual al-Qur’an: Sebuah Kerangka Konseptual, Mizan, Bandung: 1992, Cet. III, hal. 73.
2 Muhammad Abduh dan Rasyid Rida, Tafsir al-Manar, Dar al-Ma’rifah, Beirut, tanpa tahun, Hal. 193, diambil dari makalah Dr. Zainul Kamal dan Dr. Musdah Mulia, Penafsiran Baru Islam atas Pernikahan Antar Agama, Pusat Studi Islam Paramadina, KAA-200, edisi: Oktober 2003.
3 Quraisy Syihab, Wawasan al-Qur’an, Mizan, Jakarta: 1996, hal. 196.
4 Nurcholish Madjid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer; editor Mun’im Sirry, Fiqih Lintas Agama: membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Yayasan Wakaf Paramadina dan TAF, Jakarta: 2004, hal. 159.
5 Lihat Zainun Kamal dan Musdah Mulia, Op. Cit.

6K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976), Cet. IV, h. 210

Hak-hak Anak dalam Tinjauan Hukum Islam

Salah satu hal yang mendapat perhatian serius dalam ajaran Islam adalah bagaimana menciptakan masa depan yang lebih baik dari masa lalu dan masa sekarang. Proyeksi masa depan itu tercermin dari konsep-konsep tentang bagaimana masyarakat muslim memperhatikan dan menyiapkan generasi muda untuk menyongsong masa depan tersebut. Itulah sebabnya, dalam doktrin Islam, banyak sekali ditemukan aturan-aturan yang berbicara seputar regenerasi, mulai dari memilih jodoh, etika hubungan suami-istri, menjaga kandungan, sampai panduan pengasuhan dan pendidikan anak. Pada beberapa kesempatan, Rasulullah SAW seringkali dengan sangat tegas dan lugas mengutarakan bagaimana mendidik dan memperlakukan anak.
Dalam hal hubungan dengan anak, Rasulullah mengajarkan agar orang tua melakukan pendekatan dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Tuntunan Rasulullah ini kerapkali terabaikan, lalu muncullah apa yang disebut kekerasan terhadap anak. Begitu banyak kasus kekerasan terhadap anak muncul dalam pelbagai bidang kehidupan masyarakat. Kekerasan dan perlakuan yang tidak bijak kepada anak itu tidak hanya terjadi di lingkungan masyarakat umum, hal serupa juga terjadi di lembaga-lembaga pendidikan, termasuk pondok pesantren.
Kekerasan terhadap anak di lingkungan pesantren seringkali dilakukan dengan kesadaran penuh yang berangkat dari anggapan bahwa kekerasan terhadap anak itu adalah salah satu bentuk pendidikan. Sesungguhnya anggapan seperti ini keliru, sebab perlakuan yang keras terhadap anak akan menyebabkan anak kurang percaya diri dan menimbulkan trauma psikologis yang mendalam. Itulah sebabnya, anak-anak di lingkungan pesantren, terlihat begitu inferior di hadapan orang tuanya atau orang dewasa pada umumnya. Mereka merasa bahwa diri mereka tidak ada artinya di hadapan orang lain itu. Sehingga, bisa dibayangkan bahwa anak-anak di lingkungan pesantren akan sangat sulit ikut ambil bagian dalam proses kreativitas. Apa yang dikatakan oleh orang dewasa atau orang tua, akhirnya, diakui sebagai kebenaran mutlak. Pada kondisi seperti ini, akan sangat sulit ditemukan proses dialog antara anak dan orang tua maupun dengan orang dewasa lainnya di lingkungan pesantren.
Kekerasan terhadap anak di lingkungan pesantren kerapkali juga dilakukan secara tidak langsung. Anak-anak diandaikan tidak memiliki ide, sehingga aspirasi mereka diabaikan. Ini juga adalah bentuk kekerasan. Sebab dengan demikian, kebutuhan anak ditentukan secara semena-mena oleh mereka yang dianggap lebih dewasa. Kekerasan model ini juga sangat banyak ditemui dalam interaksi antar anak di lingkungan pesantren. Anak yang lebih tua akan cenderung mendominasi dan seolah yang paling mengetahui segala hal. Ajaran ini, sepintas, memang sangat baik bahkan mulia. Tetapi kerapkali ajaran seperti ini diperlakukan secara umum, sehingga segala bentuk koreksi atau bantahan terhadap mereka yang lebih dewasa selalu dianggap sebagai bentuk perlawanan dan akhirnya menjadi semacam bentuk ketidakpatuhan.
Bergulirnya era reformasi yang ditandai dengan tumbangnya kekuasaan otoriter Orde Baru tahun 1998 telah membuka belenggu kebebasan yang sekian lama terpasung. Di era kebebasan ini, suara-suara yang dulu terpendam dan dibenamkan kini mulai muncul ke permukaan menunjukkan eksistensinya. Banyak hal yang dulu dianggap tabu kini dirayakan dengan begitu semarak. Salah satu hal yang marak dimunculkan di era kebebasan ini adalah penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini ditandai, misalnya, dengan dimuatnya prinsip-prinsip HAM dalam bab tersendiri pada amandemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada sidang bulan Agustus 2000. Di samping itu, pemerintah juga menerbitkan Keputusan Presiden nomor 129 tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia yang antara lain memuat rencana dan jadual ratifikasi pelbagai instrumen hak asasi manusia yang sangat penting, seperti Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Kovenan Internasional Hak Sosial, Ekonomi dan Budaya, Konvensi Anti Penyiksaan, Konvensi Anti Rasial, Konvensi tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Eksploitasi Pelacuran, Konvensi tentang Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya dan sebagainya.
Kendati masalah HAM telah menjadi salah satu pusat perhatian di era reformasi, tetapi perhatian itu terasa masih sangat tidak maksimal terutama karena di dalamnya tidak eksplisit mengenai perlindungan terhadap anak. Tidak ada pembahasan atau ketertarikan yang memadai untuk membahas masalah kekerasan terhadap anak. Padahal tidak sedikit kasus di mana anak menjadi objek kekerasan. Kendatipun telah ada undang-undang, yang juga tidak mendapat perhatian secara maksimal, praktik kekerasan terhadap dan pengabaian hak anak masih sangat marak dalam kehidupan masyarakat. Bukan hanya kekerasan, anak bersama perempuan bahkan telah menjadi objek perdagangan atau trafiking. Menurut data yang dilansir Kompas (27 Agustus 2002), untuk tahun 2000 saja telah terjadi trafiking perempuan dan anak sebanyak 7000 kasus. Menurut laporan Asian Development Bank (ADB) paling tidak sebanyak satu atau dua juta manusia telah diperjualbelikan setiap tahun di seluruh dunia. Jual-beli manusia ini terutama sangat marak di negara-negara miskin.
Tampak nyata bahwa tidak ada pembicaraan yang cukup serius yang membahas mengenai Hak Asasi Anak (HAA). Hal ini terjadi mungkin karena ada anggapan umum bahwa ketika bicara mengenai hak asasi manusia, maka sebetulnya anak sudah masuk dalam kategori itu. Sebab, manusia terdiri dari orang dewasa dan anak-anak. Padahal, kenyataannya, konsep HAM memang kerapkali tidak mengakomodir kepentingan untuk melakukan perlindungan terhadap anak. Anak kerapkali dianggap sebagai milik bapak dan ibunya semata. Oleh karena itu, bapak dan ibu sang anak berhak melakukan apapun kepada anak, termasuk pemaksaan dan tindak kekerasan.
Itulah sebabnya, kekerasan terhadap anak sebetulnya merupakan kasus yang begitu marak dalam kehidupan di negeri ini. Bukan hanya hak anak untuk terhindar dari perilaku kekerasan, tetapi hak anak untuk menikmati masa kanak-kanak dengan baik juga menjadi kasus yang sangat marak dan nyata. Dalam kehidupan sehari-hari, begitu banyak anak yang terjun dalam pekerjaan, seperti menjadi buruh, pengemis, bahkan pekerja seks di bawah umur. Hal ini berarti, hak-hak anak untuk menikmati masa kanak-kanak dengan indah telah direnggut oleh sebuah sistem kehidupan yang luput dari perhatian. Alih-alih memperoleh hak untuk menikmati pendidikan jenjang demi jenjang, begitu banyak anak Indonesia malah terjebak dalam ketidakberdayaan yang dengan demikian mengarahkan mereka menuju masa depan yang suram.
Persoalan hak-hak anak ini tentu bukan hanya dosa satu pihak, melainkan di sana terdapat pengabaian dan ketidakpedulian dari negara, orang tua, tokoh masyarakat, kalangan agamawan, pelaku bisnis, dan lingkungan lainnya. Sistem kehidupan budaya juga memiliki tanggung jawab terhadap problem yang diderita anak. Ketidakpedulian terhadap anak tidak disadari sebagai dosa masa depan yang sangat besar. Anak dipaksa untuk menjadi anak saleh dan salehah, dalam pengertian yang sangat sempit, yakni mereka harus patuh dan taat terhadap semua perintah orang tua. Anak yang patuh adalah anak yang bisa menyenangkan orang tua, misalnya mereka harus mendatangkan manfaat uang, dan itu bisa diperoleh dengan bekerja. Anak-anak yang dianggap tidak patuh kemudian dibenarkan untuk diperlakukan dengan keras. Jika dirumuskan, setidaknya ada beberapa hal mendasar yang harus dipenuhi sebagai hak asasi atau hak dasar anak: hak kelangsungan hidup, hak untuk berkembang, hak partisipasi, dan hak perlindungan.

Hak atas Kelangsungan Hidup
Hak atas kelangsungan hidup berarti bahwa anak memiliki hak atas tingkat kehidupan yang layak dan pelayanan kesehatan. Di sini, pihak-pihak yang terkait dengan anak, seperti keluarga, lingkungan dan negara harus betul-betul memperhatikan kelangsungan hidup anak. Dalam hal ini, anak-anak berhak mendapatkan gizi yang baik, tempat tinggal yang layak dan perwatan kesehatan yang baik bila ia jatuh sakit. Pengabaian hak anak dalam kelangsungan hidup tampak nyata dalam berbagai kasus kekurangan gizi dan busung lapar yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia.
Kemiskinan tentu adalah faktor utama penyebab pengabaian atas kelangsungan hidup anak Indonesia. Untuk masalah kemiskinan, perlu langkah-langkah kongkrit dan berkesinambungan untuk mengatasi masalah ini. Kemiskinan bukan hanya menjadi masalah utama bagi semua masyarakat, melainkan juga menjadi titik pijak yang sangat rapuh bagi konstruksi masa depan. Tetapi kemiskinan juga tidak mungkin diselesaikan dengan hanya memberikan bantuan finansial kepada si miskin. Kemiskinan tidak hanya terkait dengan kurang atau tiadanya harta benda, tetapi terutama karena kurangnya kapabilitas dalam bekerja dan mencari nafkah. Oleh karena itu, pemberantasan kemiskinan harus dilakukan dengan memberikan bekal kepada si miskin untuk meningkatkan kapabilitas atau kemampuan individu untuk mengatasi problem kemiskinannya.
Tetapi, kapabilitas belum tentu memadai dalam kondisi persaiangan yang tidak sehat. Kita saksikan betapa banyak orang yang sebetulnya memiliki kemampuan tetapi tetap saja miskin, karena mereka kalah bersaing dengan mereka yang memiliki akses yang lebih baik, akses yang dimaksud adalah koneksi atau kesempatan yang lebih baik. Dengan demikian, pengentasan kemiskinan juga mensyaratkan suatu kondisi persaingan yang fair dan memberikan kesempatan kepada yang kurang mampu untuk bisa mengaktualisasikan dirinya.
Tentu saja si miskin tetap harus memiliki modal awal untuk mencapai peningkatan kapabilitas dan kesempatan kerja. Sebab mereka tidak mungkin belajar dalam keadaan perut kosong. Bagaimanapun, pemenuhan kebutuhan biologis tetap merupakan prioritas utama. Dalam hal ini, pemerintah, pada tiap jenjangnya, harus bertanggungjawab penuh pada penanggulangan kemiskinan. Di samping, masyarakat juga harus aktif melakukan desakan kepada pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan yang menimpa mereka.
Jika kemiskinan terus berlangsung, bisa dipastikan bahwa anak akan mengalami dampak yang sangat buruk. Anak akan kehilangan hak untuk mendapatkan perhatian kesehatan. Anak yang kurang gizi akan sangat rentan terhadap berbagai penyakit yang mematikan. Jika di masa lalu, orang-orang miskin membunuh anaknya karena takut menjadi beban, maka di masa kini, kekurangan gizi adalah pembunuhan model baru. Allah berfirman:

“Janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang akan memberikan rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh adalah suatu dosa yang besar” (Al-Isra: 31).

Sebetulnya Indonesia telah memiliki antara lain Undang-Undang (UU) No 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak, Keputusan Presiden No 36/1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak, realitas kesejahteraan anak masih jauh dari harapan. Kejadian busung lapar belum lama ini menyentak kita tentang buruknya kondisi anak. Belum lagi persoalan anak yang dipekerjakan di sektor pekerjaan terburuk, anak di wilayah konflik, korban perdagangan manusia, dan banyak lagi.
Kemiskinan, kelangsungan hidup anak dan pengembangan kapabilitas adalah mata rantai yang tak terputus dan saling mengandaikan. Kemiskinan membuat anak tidak memiliki kesempatan untuk meningkatkan kapabilitas. Sejak dini, anak-anak di daerah-daerah miskin telah dipekerjakan, bahkan tak jarang pekerjaan itu adalah pekerjaan yang sangat berbahaya. Mereka kemudian kehilangan masa-masa kecilnya yang seharusnya ceria dan indah. Alih-alih bermain dan mengasah kemampuan, setiap hari anak-anak harus bergelut dengan pekerjaan dan berlomba dengan waktu untuk mengejar laba. Pemerintah benar-benar harus tanggap terhadap masalah yang satu ini.
Di samping kemiskinan, kelalaian orang tua untuk memberikan gizi berupa air susu ibu kerapkali terjadi. Banyak orangtua yang mengabaikan pentingnya air susu ibu, padahal ini adalah cara paling tradisional yang selalu dianjurkan untuk peningkatan gizi anak sejak dini. Allah berfirman:

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan” (Q.S. An-Nisa/4: 29)

Dari ayat di atas, bisa ditarik beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh orangtua: Pertama, adalah kewajiban ibu untuk menyusui anaknya sendiri dan tidak mengabaikan hak anak yang paling dini itu. Kedua, lama yang ideal untuk menyusui anak adalah dua tahun. Ketiga, Penyusuan tersebut boleh dihentikan sebelum dua tahun, tetapi terlebih dahulu kedua orang tua harus bermusyawarah untuk melihat baik buruknya penghentian penyusuan tersebut. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an:

“Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya” (Q.S. Al-An’am/6: 151).

Keempat, ayah bayi harus membantu agar air susu ibu terus tersedia cukup dengan cara menyediakan makanan yang cukup bagi ibu dan suasana yang tenteram dan damai. Hal ini menjadi satu pertanda bahwa sebenarnya Islam menganggap menyusui anak sebagai satu kewajiban utama bagi ibu sehingga ia tidak bisa dibebani pekerjaan yang bisa mengganggu proses penyusuan itu. Kelima, jika sang ayah sedang bepergian atau meninggal, maka salah seoarang keluarga harus mengambil-alih kewajiban memelihara bayi dengan menyediakan kebutuhan-kebutuhannya dan kebutuhan-kebutuhan ibu agar tugas menyusui bisa terus berlangsung. Dan keenam, seoarang ibu yang dapat menyusui anaknya dilarang mengalihkan kewajiban itu kepada orang lain. Islam mewajibkan ayah bayi tersebut menanggung biaya keuangan atau biaya hidup isteri yang telah dicerainya tetapi masih menyusui bayinya. Ini penting, agar bayi tetap menerima hak atas penyusuan, yang dengan demikian hak bagi kelangsungan hidup anak.
Betapa pentingnya memberikan hak perbaikan gizi bagi anak, Rasululllah menegaskan: “Seorang mu’min yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada yang lemah.” Itulah sebabnya, Islam menghalalkan berbagai makanan yang mengandung gizi yang baik bagi pertumbuhan. Islam tidak melarang mengkonsumsi daging, seperti daging sapi, karena daging-daging itu mengandung gizi yang baik bagi pertumbuhan. Singkatnya, Islam sangat menganjurkan agar sejak dini, orang tua memperhatikan hak hidup anak.

Hak untuk Berkembang
Anak-anak perlu jaminan bahwa mereka bisa hidup dan berkembang secara layak untuk menyongsong masa depan. Hak untuk berkembang meliputi hak untuk mendapatkan pendidikan, informasi, waktu luang, berkreasi seni dan budaya, dan semacamnya. Hak untuk berkembang ini juga berlaku kepada anak-anak cacat dimana mereka berhak mendapatkan perlakuan dan pendidikan yang khusus. Kerapkali hak untuk berkembang ini diabaikan dengan alasan bahwa anak-anak memiliki catatan nasibnya sendiri. Padahal keyakinan seperti itu sungguh salah. Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah nasib mereka sendiri”

Ayat ini menunjukkan bahwa sebetulnya nasib ditentukan oleh bagaimana kita berusaha. Jika sejak dini manusia sudah tidak dibekali dengan kemampuan yang baik, maka nasibnya akan menjadi suram. Tapi jika kemampuan itu telah diasah sejak dini, maka tentu masa depan yang cerah akan menanti. Sebetulnya tidak ada orang yang menghendaki masa depan yang suram, tapi kerapkali instrumen atau jalan untuk mencapai hal itu tidak diperhatikan sejak dini. Akhirnya, setelah semuanya terjadi, yang terucap adalah kepasrahan pada nasib. Allah kemudian dibawa-bawa dalam hal ini, “mungkin Allah memang telah menggariskan jalan hidupnya seperti ini.” Ini adalah sikap pasrah yang tidak beralasan. Seharusnya doa dan ikhtiar harus selalu berjalan seiringan. Doa sebagai wahana agar kita yakin bahwa apa yang kita lakukan tidak melanggar ketentuan Ilahi. Sementara ikhtiar atau usaha yang sungguh-sungguh adalah alat untuk meyakinkan kita bahwa apa yang kita lakukan itu memang telah benar untuk mencapai satu kesuksesan tertentu. Salah satu usaha untuk mencapai masa depan yang cerah itu adalah mempersiapkan kemampuan anak sejak dini.
Kerapkali kita mendengar bahwa negara Indonesia sedang berada pada masa-masa suram, dimana bangsa ini mengalami kemunduran dan ketidakmampuan di berbagai bidang jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Indonesia dibuat cemburu habis-habisan dengan keberhasilan negara lain mencapai kemajuan, seperti yang dialami oleh Cina dan India, padahal dua negara itu memiliki kemiripan dengan Indonesia, dalam hal luas wilayah, jumlah penduduk dan kondisi suram di masa lalu. Kenapa dua negara itu bisa begitu maju, sementara Indonesia masih terpuruk? Salah satu jawaban yang bisa diberikan adalah bahwa negara itu, sejak 20 dan 30 tahun yang lalu telah melakukan persiapan besar-besaran terutama dalam hal memberikan kesempatan kepada sebanyak mungkin anak di negerinya untuk melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya. Setiap tahun, ratusan anak dikirim ke negara-negara maju untuk bersekolah. Pemerintah negara itu begitu peduli dengan pendidikan. Tiga puluh tahun kemudian, anak-anak negeri itu pulang dan menjadi tulang punggung kemajuan negara.
Hal yang sangat berbeda terjadi Indonesia. Anak-anak dibiarkan begitu saja putus sekolah. Kalaupun terus bersekolah, maka mutu pendidikan tidak begitu diperhatikan. Mereka yang tetap bersekolah sampai ke perguruan tinggi dibebani dengan harapan bisa menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Akhirnya, anak sekolah akan merasa puas jika telah bisa menjadi PNS. Padahal untuk menjadi PNS, yang diperhatikan bukan semata-mata kualitas individu, melainkan seberapa banyak uang yang bisa dijadikan sogokan atau seberapa kuat koneksi. Akhirnya, lagi-lagi, mutu pendidikan menjadi nomor sekian dari sistem pendidikan kita. Jika hal ini terus dipertahankan, maka bisa dibayangnya masa depan bangsa Indonesia.
Putus sekolah adalah fenomena yang hampir dianggap lumrah dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini muncul karena ada anggapan yang berkembang di masyarakat, bahwa anak adalah aset untuk membantu ekonomi keluarga. Anak yang baik adalah anak yang bisa langsung memberikan bantuan bagi keluarga untuk peningkatan ekonomi. Pendidikan dianggap tidak penting karena tidak langsung memberikan dampak langsung peningkatan ekonomi, bahkan menjadi beban ekonomi.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan di Indonesia terdapat 4.201.452 anak (berusia di bawah 18 tahun) terlibat dalam pekerjaan berbahaya, lebih dari 1,5 juta orang di antaranya anak perempuan. Data IPEC/ILO memperkirakan terdapat 2,6 juta pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia dan sedikitnya 34,83 persennya tergolong anak. Sekitar 93 persennya adalah anak perempuan (Kompas, 2/7/05). PRT anak perempuan berada dalam posisi rentan, mulai dari situasi kerja buruk, eksploitasi, hingga kekerasan seksual.
Doktrin Islam yang mewajibkan pendidikan anak bukan hal yang remeh temeh dan main-main, sebab mengabaikan pendidikan anak merupakan dosa sosial yang akan berdampak sangat buruk bagi masa depan sebuah komunitas, termasuk agama dan negara itu sendiri. Pendidikan anak menggunakan beragam metode yang disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan psikologinya. Pendidikan anak yang bisa diberikan antara lain adalah melalui pembiasaan, pemberian contoh teladan, nasihat, dan dialog yang mencerdaskan, pemberian hadiah yang mendidik, sesekali ada hukuman.
Islam mengajarkan untuk memberikan pendidikan kepada anak di lingkungan keluarga. Di lingkungan keluarga, pendidikan anak diarahkan dalam rangka penanaman moral keagamaan dan pembentukan sikap yang diperlukan setiap anak bagi pengembangan diri. Sedini mungkin anak harus diajarkan untuk hidup disiplin, sopan, lembut, santun, jujur, arif dan kritis. Sedapat mungkin orang tua tidak memberi contoh yang buruk kepada anak, karena anak akan sangat cepat meniru kelakukan orang tua. Anak-anak harus dihindarkan dari sifat iri, pemarah, pembohong dan tidak peka terhadap orang lain. Dalam hal ini, Nabi bersabda: “Tidak ada pemberian seoarang ayah yang lebih baik, selain dari budi pekerti yang luhur” (HR Al-Tirmidzi).

Hak Partisipasi
Bagian ketiga ini memang adalah hal yang banyak dilanggar. Anak-anak dianggap tidak memiliki kemampuan atau hak untuk berpartisipasi hanya karena mereka adalah anak-anak. Hak partisipasi meliputi hak kebebasan menyatakan pendapat, berserikat dan berkumpul serta ikut serta dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dirinya. Jadi, seharusnya orang-orang dewasa, khususnya orangtua, tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada anak karena bisa jadi pemaksaan kehendak dapat mengakibatkan beban psikologis terhadap diri anak.
Sebagai generasi masa depan, anak harus diperkenalkan dengan prilaku yang tidak otoriter. Orang tua tidak boleh memperlihatkan sikap otoriter kepada anak, karena dengan demikian maka orang tua secara tidak langsung mengajarkan hal yang demikian itu kepada anaknya. Anak harus diberi kesempatan untuk berkreasi dan mengemukakan pendapatnya. Dari sana anak-anak akan menjadi generasi kritis yang tidak gampang menyerah terhadap persaingan hidup yang demikian hebat.
Hak partisipasi sekaligus juga mengajarkan anak-anak untuk hidup secara demokratis. Dalam kehidupan demokratis, semua golongan bisa tampil dan mengemukakan pendapatnya serta berpartisipasi dalam semua keputusan publik. Dalam demokrasi, tidak ada perbedaan antara satu golongan dengan golongan yang lain. Memberikan hak partisipasi bagi anak berarti mengajarkan mereka untuk berlaku adil kepada semua orang tanpa memandang dari golongan dan status sosial mana mereka berasal. Komitmen seperti ini penting sebab kerapkali kerusakan terjadi di masayarakat orang dewasa karena satu atau sekelompok orang merasa paling benar dan karenanya berhak melakukan pemaksaan kehendak kepada yang lain. Pemaksaan kehendak itu dilegitimasi oleh anggapan bahwa yang lain itu belum cukup dewasa dalam memahami kebenaran. Sikap seperti ini harus dihindari dalam masyarakat modern di mana masyarakat begitu beragam dan tidak satu ide. Jika sejak awal anak selalu merasa diri paling benar, maka selanjutnya sikap seperti itu akan mewarnai kehidupan mereka.
Memberikan hak partisipasi kepada anak berarti memberikan pengakuan terhadap eksistensinya. Dengan demikian, anak akan merasa bahwa kehadiran diri mereka dihargai. Dari sana kemudian muncul kepercayaan diri untuk menyongsong masa depan. Anak-anak yang memiliki kepercayaan diri akan mudah bergaul dan mendapatkan informasi yang lebih baik ketimbang anak-anak yang tidak percaya diri. Kerapkali gagasan-gagasan cemerlang muncul dari anak-anak, itu patut mendapat penghargaan. Posisi anak-anak yang masih bersih dari segala kepentingan pragmatis akan membuat gagasannya begitu murni dan tulus. Oleh karena itu, mengabaikan dan mengungkung aspirasi anak sama artinya dengan menutup diri terhadap gagasan cerdas yang mungkin muncul.
Dalam hal ini, orang tua senantiasa harus berlaku adil terhadap semua anak. Perlakukan tidak adil bukan hanya akan merendahkan posisi anak yang diperlakukan secara tidak adil, melainkan juga bahwa hal itu akan menjadi contoh yang sangat buruk. Dalam salah satu hadisnya, Rasulullah bersabda: “Samakanlah anak-anakmu dalam hal pemberian. Jika kamu hendak melebihkan salah seorang di antara mereka, maka lebihkanlah pemberian itu kepada anak-anak perempuan.” (HR Al-Thabrani).
Hadis di atas menunjukkan bahwa betapa prinsip keadilan itu sangat penting dalam ajaran Islam. Islam tidak hanya mengajarkan keadilan di ruang publik seperti negara, keadilan justru harus telah ditanamkan dalam kehidupan keluarga. Rasulullah juga sadar betul bahwa kerapkali anak perempuan menjadi korban ketidak-adilan orang tua. Anak-anak perempuan dianggap tidak terlalu berguna, sehingga mereka tidak diberikan fasilitas yang cukup sebagaimana yang diberikan kepada anak laki-laki. Sejak awal, anak laki-laki telah diperkenalkan kepada pergaulan yang luas di wilayah masyarakat, sementara perempuan diarahkan untuk aktif dalam wilayah yang lebih sempit yaitu mengurus keluarga. Anak laki-laki diperbolehkan main di luar rumah seperti di lapangan atau di tempat-tempat umum lainnya, sementara anak perempuan dibatasi atau diarahkan untuk bermain di dalam rumah seperti main masak-masakan di dapur, arisan-arisanan atau gosip-gosipan. Melangkah lebih jauh, anak laki-laki akan diberikan kesempatan mengenyam pendidikan tinggi, sementara perempuan dibatasi, misalnya dengan segera mengawinkannya dengan lelaki pilihan orang tua.
Diskriminasi ini benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata, bahkan sangat marak dalam kehidupan kita. Anak perempuan tidak dibiarkan berkembang karena diyakini bahwa kodrat perempuan memang di rumah atau di dapur untuk mengurus rumah tangga dan suami. Sementara anak laki-laki diproyeksikan untuk menjadi kepala rumah tangga dan tulang punggung keluarga. Diskriminasi ini tidak hanya secara langsung merugikan anak perempuan, tetapi juga mengajarkan kepada anak laki-laki untuk berlaku diskriminatif di kemudian hari. Mereka akan menjadi kepala-kepala rumah tangga yang menyepelekan hak anak perempuan untuk berkembang dan juga menyepelekan ide dan bentuk partisiasi lainnya dari perempuan.
Ironisnya, bentuk diskriminasi itu kerapkali dianggap sebagai kodrat dan sesuai dengan ajaran Islam. Jika ada orang yang mencoba mengubah atau mengoreksi pendapat seperti itu, dia dianggap menyalahi kodrat, yang dengan demikian mengingkari ajaran Islam. Padahal sesungguhnya Islam justru mengajarkan bahwa anak perempuan harus diberikan perhatian yang lebih karena mereka kerapkali menjadi korban diskriminasi. Perlakuan yang adil dari orang tua kepada semua anak, baik laki-laki maupun perempuan, baik yang cacat maupun yang tidak cacat, akan menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi semua anak untuk selalu memegang prinsip keadilan dalam mengarungi bahtera kehidupan yang maha luas.



Hak Perlindungan
Bagian keempat yang harus dipenuhi adalah hak perlindungan. Hak perlindungan meliputi perlindungan dari segala bentuk eksploitasi, perlakuan kejam dan sewenang-wenang dalam proses peradilan pidana maupun dalam hal lainnya. Contoh eksploitasi yang paling sering kita lihat adalah mempekerjakan anak-anak di bawah umur. Di jalan-jalan, banyak sekali ditemukan bagaimana anak-anak membanting tulang untuk mencari pekerjaan. Mereka melupakan keindahan masa kecil yang seharusnya mereka terima. Kondisi seperti ini sangat berbahaya kepada anak terutama karena mereka tidak bisa aktif mempersiapkan masa depan yang cerah. Mereka akan tetap berada pada lingkaran kemiskinan dan ketidakmampuan bersaing dalam kehidupan modern yang menuntut kecakapan individu.
Mempekerjakan anak-anak di bawah umur juga secara langsung memperhadapkan mereka kepada bahaya keamanan fisik. Sudah tentu gizi mereka tidak terurus. Pekerja anak-anak akan menghadapi resiko kerja yang penuh dengan bahaya. Bagi mereka yang bekeja di jalan-jalan, mereka menghadapi resiko tabrakan. Mereka yang bekerja di pabrik-pabrik, mereka menghadapi bahaya mesin dan semacamnya. Mereka yang menjadi buruh bangunan menghapi banyak bahaya kejatuhan atau terhimpit alat-alat berat. Bahaya yang menanti mereka terutama karena memang mereka belum waktunya untuk bekerja. Mereka tentu tidak akan terlalu mengerti tentang bahaya yang ada di sekelilingnya.
Sebagai anak-anak, mereka harusnya selalu mendapat perlindungan dari orang tuanya. Ajaran Islam sangat menekankan perlindungan terhadap anak ini. Banyak sekali ajaran-ajaran Islam yang mewajibkan perlindungan terhadap anak. Kasih sayang orang tua dan orang dewasa pada umumnya harus senantiasa tercurah kepada anak. Nabi bersabda: “Orang yang tidak sayang kepada yang lebih muda dan hormat kepada yang lebih tua bukanlah golongan kita.” Pada kesempatan yang lain, Nabi juga bersabda: “Sayangilah orang lain jika kamu ingin disayangi.” Dari hadis-hadis ini terlihat bahwa betapa Nabi memberikan perhatian yang sangat serius terhadap bentuk kasih sayang kepada anak. Jika kasih sayang itu tidak diberikan, maka Nabi memvonis orang itu sebagai orang lain, yang berada di luar komunitas Islam. Mereka yang tidak memberikan kasih sayang kepada anak-anak bukanlah orang Islam.
Jika secara umum saja orang harus sayang kepada anak-anak, apalagi orang tua yang telah melahirkan anak itu sendiri. Sudah tentu orang tua si anak harus lebih menyayangi anaknya. Memang konsep kasih sayang ini telah diamalkan dan diyakini oleh banyak keluarga. Tetapi kerapkali kasih sayang itu muncul dalam bentuk yang kurang tepat. Kerapkali atas nama kasih sayang, hak-hak anak dilanggar. Sesungguhnya yang demikian itu adalah kasih sayang semu.
Islam sama sekali tidak mentolerir perlakukan yang kasar kepada anak. Sebab perlakukan yang kasar akan menggoncang kepribadian anak. Bukan berarti kemudian bahwa anak harus dimanja kemudian sang anak menjadi anak yang manja dan tidak mandiri. Di sini, orang tua harus pandai menempatkan posisi. Seorang anak tidak boleh diperlakukan secara kasar, tetapi juga tidak boleh terlalu dimanja. Orang tua harus bisa selalu mengevaluasi diri dalam hubungannya dengan anak.
Banyak sekali orang tua yang tidak mau tahu tentang pendekatan apa yang harus diberikan kepada anak. Padahal, setiap anak memiliki karakter yang berbeda, yang secara otomatis perlu didekati secara berbeda. Banyak sekali orang tua yang merasa bahwa apa yang dilakukan terhadap anak sudah benar dan tidak perlu dikoreksi, atau setidaknya menganggap bahwa evalusi pendekatan terhadap anak tidak relevan atau tidak penting. Pemahaman seperti ini harus dihilangkan, karena akan merugikan kepentingan anak itu sendiri.
Berkaca dari perspektif ini, maka sebetulnya pemberian perhatian terhadap anak tidak hanya bisa diberikan oleh mereka yang mapan secara ekonomi. Ada anggapan umum bahwa kaum miskin tidak mungkin memberikan perhatian kepada anak. Anak bagi yang miskin adalah aset berharga untuk membantu perekonomian. Sesungguhnya perspektif ini keliru, orang miskin sekalipun tetap bisa memberikan perhatian kepada anak. Mereka juga harus mengevaluasi pendekatan yang ia gunakan kepada anaknya. Pada dasarnya, anak-anak di manapun memiliki hak yang sama untuk dilindungi.
Ironisnya, problem perlindungan terhadap anak ini dialami oleh semua keluarga tanpa memandang latar belakang ekonomi. Pelanggaran terhadap hak perlindungan anak dilakukan oleh keluarga dari kalangan manapun. Tentu saja kaum, secara teoretis, paling rentan, tapi problem ini, pada kenyataannya, telah menyerang semua lapisan masyarakat. Jika kaum kaya berhasil memberikan kasih sayang yang lebih kepada anaknya, maka yang diberikan itu adalah kasih sayang yang over dosis, yang kemudian membuat anak tidak mandiri. Kenyataannya, orang-orang kaya justru banyak yang mengabaikan anak. Sangat banyak anak orang kaya yang lebih dekat dengan pembantunya daripada dengan kedua orang tuanya. Orang tua dari kalangan kaya menganggap bahwa mereka telah memenuhi hak anak ketika anak itu diberi materi yang berlimpah. Padahal itu justru tidak mencerdaskan dan akan membuat manja. Anak-anak kaya akan merasa bahwa uang atau materi adalah sesuatu yang sangat gampang dicari, padahan maksudnya adalah minta kepada orang tua. Anak-anak seperti ini akan menjadi generasi yang tumpul dan mandul. Mereka tidak terasa dalam berkreativitas. Masa depan yang lebih baik membutuhkan generasi yang kuat, kreatif dan mandiri.
_____________________________
Referensi
Al-Qur’an al-Karim
Hasyim, Hussaini Abdul Majid (dkk), Child Care in Islam, terj. Ahmad Bakir, Mengasuh Anak Menurut Ajaran Islam: Ulama Besar Universitas Al-Azhar Mesir, Jakarta: Penerbit Pustaka Shadra, 2004.
Bahrits, Adnan Hasan Shalih, Tanggung Jawab Ayah terhadap Anak Laki-laki, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Suwaid, Muhammad, Mendidik Anak bersama Nabi: Panduan Lengkap Pendidikan Anak Disertai Teladan Kehidupan Para Salaf, Solo: Pustaka Arafah, 2006.
Dimas, Muhammad Rasyid, 20 Kesalahan dalam Mendidik Anak, Jakarta: Robbani Press, 2005.
Rahman, Jamaal Abdur, Tahapan Mendidik Anak: Teladan Rasulullah, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2000
Schuler, Margaret A. (peny.), Women, Law and Development: International and Human Rights Watch, terj. Ismu M. Gunawan, Hak Asasi Manusia Kaum Perempuan: Langkah demi Langkah, Jakarta: Pustakan Sinar Harapan, 2001.
Jurnal Perempuan, Perempuan dan Anak Indonesia, Edisi 29, Jakarta, Oktober 2004.
Fuaduddin, TM, Pengasuhan Anak dalam Keluarga Islam, Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, Solidaritas Perempuan dan The Asia Foundation, 1999.
Mulia, Siti Musdah, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, Bandung: Mizan, 2005.

Wajah Islam Egaliter

Fenomena ketidaksetaraan gender di dunia Islam benar-benar nyata. Tidak heran jika dewasa ini Islam mendapat ujian baru karena sering dituduh sebagai sumber masalah berbagai bentuk pelanggengan ketidakadilan di masyarakat, termasuk ketidakadilan dalam pola relasi laki-laki dan perempuan yang disebut dengan ketidakadilan gender.[1]
Tidak heran jika dewasa ini agama mendapat ujian baru karena sering dituduh sebagai sumber masalah atas berbagai bentuk pelanggengan ketidakadilan di masyarakat, termasuk ketidakadilan dalam pola relasi laki-laki dan perempuan yang disebut dengan ketidakadilan gender.[2]
Ada beberapa pertanyaan yang sampai sekarang selalu menjadi bahan kajian tentang peran perempuan. Kenapa laki-laki lebih dominan dalam peran-peran publik, sementara perempuan lebih banyak memainkan peran domestik di rumah tangga? Apakah karena memang sudah merupakan kodrat alami sehingga masing-masing sudah memperoleh pembagian tugas seperti tadi? Atau hal itu disebabkan oleh ketidakmampuan perempuan berkompetisi secara obyektif dengan laki-laki? Atau domestikasi perempuan itu memang berangkat dari asumsi teologis bahwa perempuan memang diciptakan lebih rendah dari laki-laki sehingga sepantasnya laki-laki mendominasi kehidupan? Setidaknya ada tiga kelompok Islam yang merespon secara berbeda fenomena ini.
Pertama, ada sejumlah anggapan bahwa pada dasarnya Islam yang ditunjukkan dalam sejumlah doktrin al-Quran secara esensial memang bertentangan dengan upaya kesetaraan gender yakni melanggengkan budaya patriarki. Alasan umum yang dikemukakan dalam pandangan ini adalah bahwa al-Quran menjunjung tinggi aspek kodrat dari kemanusiaan. Laki-laki dan perempuan secara kodrati memang berbeda, sehingga al-Quran turun hanya sebagai penegas dari posisi kodrati tersebut. Alasan ini biasanya dipakai oleh mereka yang memang masih mengusung atau setuju dengan konsep patriarki.
Penafsiran al-Quran masih dijadikan dasar untuk menolak kesetaraan gender. Kitab-kitab tafsir dijadikan referensi dalam mempertahankan status quo dan melegalkan pola hidup patriarki, yang memberikan hak-hak istimewa kepada laki-laki dan cenderung memojokan perempuan. Laki-laki dianggap sebagai jenis kelamin utama, dan perempuan sebagai jenis kelamin kedua (the second sex). Anggapan seperti ini mengendap di alam bawah sadar masyarakat dan membentuk etos kerja yang timpang antara kedua jenis hamba Tuhan tersebut.
Menurut Asghar Ali Engineer, pemikir dan teolog Muslim dari India yang secara serius menekuni kajian tentang perempuan, secara historis, telah terjadi dominasi laki-laki dalam semua masyarakat di sepanjang zaman, kecuali dalam masyarakat matriarkal, yang jumlahnya tidak seberapa. Perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Dari sinilah muncul doktrin ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dominasi peran laki-laki, menurut Asghar dibenarkan oleh norma-norma kitab suci, seperti al-Quran yang ditafsirkan oleh laki-laki untuk melanggengkan dominasi mereka.[3]
Kelompok kedua yang juga mendukung bahwa al-Quran pada dasarnya patriarki muncul dari mereka yang mengusung ide kesetaraan gender itu sendiri. Mereka memandang bahwa al-Quran turun dalam konteks dan kondisi sosial yang patriarki. Sementara sifat esensial al-Quran adalah responsif terhadap konteks yang ada. Pemikiran di luar patriarki terlalu sulit pada masa itu, sehingga al-Quran mustahil mengusung ide-ide kesetaraan. Yang mungkin dilakukan oleh para penganut Islam saat ini adalah melakukan penafsiran ulang terhadap konsep patriarki al-Quran agar sesuai dengan tuntutan zaman, pada tingkat tertentu al-Quran bahkan harus di”buang” agar sesuai dengan perkembangan zaman. Prinsip mereka adalah maqâsid al syarî’ah. Segala doktrin tidak bisa bertentangan dengan kemaslahatan umum (maslahah ammah). Amina Wadud menyatakan: “The mere fact that the Qur’an was revealed in seventh-century Arabia when the Arabs held certain parcepcions and misconceptions about women and were involved in certain specific lewd practices against them resulted in some injunctions specific to that culture.”[4]
Sekalipun secara normatif al-Quran memihak kepada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, tetapi secara tekstual al-Quran memang menyatakan adanya kelebihan bagi kaum laki-laki atas perempuan, dengan mengabaikan konteks sosialnya. Struktur sosial pada zaman Nabi tidaklah benar-benar mengakui kesetaraan lak-laki dan perempuan. Untuk melihat hal ini, bagi Asghar, diperlukan tinjauan sosio-teologis. Para mufasir, kata Asghar, sangat disayangkan karena berusaha memberikan status yang lebih unggul bagi laki-laki dalam pengertian normatif.[5] Misalnya beberapa contoh ayat al-Qur’an ditafsirkan dalam kitab-kitab klasik yang menjadi acuan para ulama dengan menekankan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Penafsiran yang bercorak demikian pada dasarnya berhubungan dengan situasi sosial kultural waktu tafsir itu dibuat yang sangat mendiskriminasikan perempuan.
Surah an-Nisâ΄/ 4: 34 menyatakan “Al-rijâlu qawwâmûna ‘alâ al- nisâ’” (Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan). Para mufasir memberi penjelasan beraneka ragam terhadap ungkapan “kaum laki-laki adalah qawwâmûn.” At-Thabari menegaskan bahwa qawwâmûn adalah penangggung jawab (ahl al-qiyâm). Itu berarti bahwa laki-laki bertanggungjawab dalam mendidik dan membimbing istri agar menunaikan kewajibannya kepada Allah maupun kepada suami.[6] Ibn Abbas mengartikan qawwâmûn adalah pihak yang memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mendidik perempuan.[7] Sedangkan al-Zamakhsyari menekankan bahwa kata itu berarti kaum laki-laki berkewajiban melaksanakan amar ma’rûf nahy munkar kepada perempuan sebagaimana penguasa kepada rakyatnya.[8]
Ketiga, kelompok yang menyatakan bahwa pada dasarnya al-Qur’an mendukung misi kesetaraan gender. Misi utama al-Quran adalah untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk anarki, ketimpangan, dan ketiakadilan (an-Nahl/16: 90), keamanan (an-Nisâ΄/4: 58), dan mengutamakan kebaikan dan mencegah kejahatan (Āli `Imrân/3: 104). Ayat-ayat inilah yang dijadikan sebagai maqâsid al-syarî’ah (tujuan utama sayariat).[9] Jika ada penafsiran yang tidak sejalan dengan tujuan syariat, maka harus ada peninjauan ulang atas penafsiran tersebut. Allah Maha Adil, maka tidak mungkin di dalam kitabNya terkandung sesuatu yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut.
Adalah Asma Barlas yang memberikan seperangkat metodologi bagaimana memberikan pembacaan baru terhadap al-Quran yang tidak bias gender, melainkan memberikan dukungan penuh terhadap apa yang ia sebut “karakter egalitarian dan antipatriarkal dalam al-Quran.”
Karakter egalitarian dan antipatriarkal menjadi sangat penting, sebab tema-tema inilah yang kerapkali luput dari pembacaan terhadap al-Quran selama ini. Asma Barlas memberikan penekanan pada dua hal. Pertama, menentang pembacaan al-Quran yang menindas perempuan. Kedua, menawarkan pembacaan yang mendukung bahwa perempuan dapat berjuang untuk kesetaraan di dalam kerangka ajaran al-Quran. Asma Barlas kemudian mengajukan dua pertanyaan penting. Pertama, apakah kitab al-Quran mengajarkan ketidaksetaraan dan penindasan? Kedua, apakah al-Quran mendorong atau mengizinkan pembebasan terhadap perempuan?[10]
Bagi Asma Barlas, kunci utama untuk menampilkan wajah Islam yang egaliter adalah melalui cara membaca kembali al-Quran. Ketika al-Quran dibaca akan muncul beberapa kemungkinan hasil bacaannya. Mereka yang membaca al-Quran dengan kaca mata patriarkis, maka akan dihasilkan pembacaan yang tentu juga patriarkis. Barlas mengakui bahwa cara baca terhadap al-Quran yang berkembang di masyarakat memang sangat kental dengan nuansa patriarkal.
Berbicara tentang perempuan, Barlas menggunakan argumentasi historis (sejarah) dan hermeneutik. Argumentasi sejarah menjelaskan pengungkapan karakter politik tekstual dan seksual yang berkembang di kalangan masyarakat Islam, terutama proses yang telah menghasilkan tafsir-tafsir di dalam Islam yang memiliki kecenderungan patriarki. Sedangkan argumentasi hermeneutik dipakai untuk menemukan apa yang Barlas sebut epistemologi egalitarianisme dan antipatriarkalisme dalam al-Quran.
Ada tiga isu utama yang diambil oleh Barlas dalam menganalisa penafsiran al-Quran, khususnya mengenai penerapan prinsip egalitarianisme al-Quran untuk isu perempuan. Pertama, soal patriarki. Istilah ini yang menjadi sorotan Barlas, karena adanya wacana yang berkembang, tidak hanya dalam Islam tapi dalam agama lainnya, tentang dominasi corak patriarkal di dalam menafsirkan teks-teks utama agama-agama, termasuk Islam. Barlas menolak adanya patriarkisme di dalam al-Quran apabila yang dimaksud adalah aturan kebapakan atau politik pengistimewaan laki-laki.
Kedua, isu-isu seksualitas dan jender dalam Islam, khususnya di sekitar isu persamaan, perbedaan, dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Untuk konsep ‘persamaan’, sebagaimana yang diungkapkan oleh sebagian kalangan feminis, menurut Barlas, itu tidak sesuai dengan al-Quran. Persamaan antara laki-laki dan perempuan adalah bahwa keduanya memiliki kemampuan yang sama sebagai agen moral untuk sama-sama memiliki tugas-tugas kemanusiaan yang tidak berbeda. Allah tidak pernah membedakan manusia berdasarkan jenis kelamin, kekayaan, kebangsaan, atau konteks sejarah, melainkan ketakwaannya. Al-Quran Surah al-Hujurât/49: 13 menyebutkan: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui dan Maha Teliti.”
Ketiga, tentang keluarga dan perkawinan. Bagi Barlas, sistem keluarga dalam Islam tidak menunjukan nilai-nilai patriarkal. Selama ini memang ada anggapan bahwa lembaga keluarga dan juga perkawinan menjadi bukti nyata akan kentalnya budaya patriarkal dalam Islam. Dia menganalisis pandangan al-Quran tentang ibu dan ayah, dan tentang suami dan istri, serta membedakan pandangan al-Quran dari pemikiran patriarkis (Barat) maupun kaum feminis.

[1] Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2004), h. 36.
[2] Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, h. 36.
[3] Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam. Penerjemah Farid Wajidi dan Cicik Farkha Assegaf (Yogyakarta: LSPPA, 2000), h. 63.
[4] Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective (New York: Oxford University Press, 1999), h. 9.
[5] Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, h. 69.
[6] Ibn Jarir al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayât al-Qur’an, Jilid 14 (Beirut: Dâr al-Fikr, 1988), h. 57.
[7] Ibn ‘Abbâs, Tanwîr al-Miqbâs min Tafsîr Ibn ‘Abbâs. Penyunting Abu Tahrir Ibn Ya’qub al-Fayruzabadi (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), h. 69.
[8] Al-Zamakhsyari, al-Kasyâf, jilid I (Beirut: Dâr al-Fikr, 1977), h. 523.
[9] Nasaruddin Umar, Qur’an untuk Perempuan (Jakarta: Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Teater Utan Kayu (TUK), 2002), h. 1.
[10] Asma Barlas, Cara Quran Membebaskan Perempuan. Penerjemah R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005), h. 9.